Jakarta, CNBC Indonesia – Tekanan dolar AS terhadap rupee akhir-akhir ini cukup kuat. Anggota DPR bahkan meminta Bank Indonesia menyiapkan skenario jika dolar AS mencapai Rp17.000-20.000.
“Bagaimana kalau sampai Rp 17.000, sampai Rp 18.000, atau Rp 20.000, itu skenario yang perlu dilakukan, Bu Destry dan teman-temannya sudah sangat berpengalaman, langkah apa yang akan diambilnya jika pemerintahan berakhir dan selama transisi pemerintahan,” kata anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Eriko Sotarduga saat bertemu dengan pejabat Bank Indonesia, dikutip Kamis (27/6/2024).
Adapun pada perdagangan Rabu (26/06/2024) kemarin, rupee berbalik arah ke zona merah pada perdagangan Rabu (26/06/2024) setelah menguat selama dua hari berturut-turut. Pada pukul 15.00 WIB, lapor Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,18% pada Rp/USD 16.400.
Sementara itu, Ekonom senior yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, mengingatkan pemerintah, Bank Indonesia, dan otoritas lainnya untuk ekstra hati-hati dalam memantau nilai tukar rupiah.
Menurut Telis, jika mencapai Rp 17.000/US$ maka kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat Indonesia akan semakin besar, meski tidak menimbulkan krisis mata uang seperti tahun 1997-1998.
“Dulu ada overshoot dari Rp 5.000 ke Rp 17.000, sekarang dari Rp 14.000 ke Rp 17.000, jadi belum krisis. Bisa krisis, kalau sudah Rp 20.000 baru,” tegasnya.
Di luar level tersebut, Telisa mewanti-wanti pemerintah dan otoritas moneter agar tidak membiarkan nilai tukar rupiah mencapai level Rp 16.500/US$.
Ia mengatakan, jika level psikologis tersebut tembus dari kisaran Rp/USD 16.400 saat ini, maka sentimen negatif pelaku pasar keuangan yang muncul kini akan terus terakumulasi sehingga sulit dijinakkan dan berpotensi turun hingga Rp 17.000. /DOLAR AS$.
“Jadi kalau ditanya berapa kemungkinan mencapai Rp/US$ 17.000 itu ada ya. Kalau sampai 17.000 mungkin akan ada keseimbangan baru,” kata Telisa.
Perkembangan lainnya, pada saat dolar masih berada di level Rp 15.900-16.200, sektor keuangan mengalami peningkatan rasio kredit bermasalah terhadap pembiayaan (NPL/NPF).
Rasio kredit bermasalah (NPF) pada industri sektor multifinance meningkat pada tahun ini. Hal ini diikuti oleh perlambatan pertumbuhan pembiayaan.
Berdasarkan data Kantor Jasa Keuangan (OJK) per April 2024, rasio bruto FNM sebesar 2,82%, meningkat secara year-on-year sebesar 35 basis poin (bps). Dibandingkan posisi Desember 2023, rasio FNM meningkat sebesar 38 bps.
Demikian pula dengan net FNM yang meningkat sebesar 20 basis poin menjadi 0,89% pada April 2024 dan meningkat sebesar 25 basis poin dibandingkan Desember 2023.
Kepala Bidang Pengaturan dan Pembinaan Lembaga Keuangan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro OJK Ahmad Nasrullah mengatakan, semakin mahalnya biaya hidup masyarakat Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa FNM semakin meningkat.
“Saat ini kemampuan peminjam berkurang karena biaya hidup yang meningkat. Sehingga tidak kuat untuk melakukan cicilan,” kata Ahmad.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Keuangan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menilai kenaikan tersebut terjadi karena daya beli masyarakat mendapat tekanan dari harga kebutuhan pokok yang meningkat tajam sejak akhir tahun 2023. Selain itu, dia mengatakan perusahaan pembiayaan juga menghadapi kondisi sulit dalam mencari peminjam yang berkualitas.
Suwandi menjelaskan, saat ini kredit bermasalah sudah menjadi permasalahan bagi seluruh industri keuangan. Memang benar, Kantor Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa porsi kredit bank bermasalah juga meningkat.
Kredit bermasalah bruto di bank mencapai 2,33% pada April 2024, naik dari 2,25% pada bulan lalu, dan kredit bermasalah bersih naik menjadi 0,81% dari sebelumnya 0,77%.
Salah satu segmen yang mengalami peningkatan kredit bermasalah adalah kredit konsumsi. Meski masih di bawah 2%, NPL kredit konsumsi naik 30 basis poin (bps) menjadi 1,8% per Maret 2024.
Nilai pinjaman konsumen yang belum dilunasi pada bulan Maret 2024 meningkat sebesar 27,7% tahun ke tahun, sementara pinjaman konsumen tumbuh di bawah ambang batas tersebut atau sebesar 10,5% tahun ke tahun.
Sejumlah bank besar di Indonesia juga mengakui kualitas kredit konsumernya memburuk. Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Handayani mengakui NPL konsumer di bank-bank BUMN semakin meningkat. Meski demikian, ia meyakini potensi segmen konsumer di BRI masih besar.
“NPL kredit konsumer BRI masih terkendali dengan baik meski sedikit meningkat. Potensi kredit konsumer masih kuat meski melambat,” kata Handayani.
Artikel lain
Alasan dolar mencapai Rp 15.800: perselisihan pemilu AS di Mahkamah Konstitusi
(mkh/mkh)
Quoted From Many Source